Book Name:Musibaton Par Sabr Ka Zehen Kaise Banye?

kesabaran, saya bahkan tidak bisa memikirkan rasa sakit dari cedera itu.'[1]

(2) Tersenyum saat kematian seorang putra

Pendahulu yang saleh dari tarekat Chishtiyya yang mulia, Sayyidina Fudail bin Iyad رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِ tidak pernah terlihat tersenyum oleh siapa pun. Namun, pada hari putranya yang terkasih, Sayyidina Ali bin Fudail رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِ meninggal dunia, beliau ( Sayyidina Fudail ) mulai tersenyum. Orang-orang bertanya: 'Kebahagiaan apa yang membuat Anda tersenyum?' Beliau menjawab: 'Saya tersenyum, ridha dengan kehendak Allah  سبحانہ و تعالی, karena putra saya meninggal atas kehendak Allah سبحانہ و تعالی. Kehendak Allah adalah kehendak saya.'[2]

(3) Apakah  saya bahagia atau berduka?

Putra dari Sayyidina Mutarrif رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِ meninggal dunia. Orang-orang melihat beliau sangat bahagia dan bertanya: 'Apa yang membuat Anda tampak bahagia bukannya berduka ?' Beliau menjawab: 'Apabila saya mendapatkan kabar gembira berupa keselamatan, rahmat, dan petunjuk dari Allah سبحانہ و تعالی  atas kesabaran saya menghadapi musibah ini, maka apakah saya akan senang ataukah berduka?'[3]

صَلُّوۡا عَلَى الۡحَبِيۡب                                     صَلَّى اللّٰهُ عَلٰى مُحَمَّد

سُبْحَنَ الله ! Anda telah mendengar betapa luar biasanya kesabaran hamba-hamba Allah yang saleh ketika ditimpa musibah. Bahkan ketika musibah terbesar pun menimpa, alih-alih menjadi berduka dan


 

 



[1] Kimiyae Sa'adat, jilid. 2, hal. 782

[2] Tadhkirat Al Awliya, jilid. 1, hal. 86 - 87 diringkas

[3] Mukhtasar Minhaj Al Qasidin, hal. 322